galeri

galeri
islamic

Kamis, 07 April 2011

RUMUS KELILING LINGKARAN

Teman-teman semua pasti sudah tahu rumus keliling dan luas lingkaran kan ?!, untuk teman yang belum tahu saya tulis ulang deh, begini nih rumusnya . . .

Keliling = 2 π r ; r = jari-jari atau Keliling = π d ; d = Diameter
luas = π r2

Nah, sekarang kita mau membuktikan bahwa rumus keliling lingkaran merupakan turunan dari luas lingkaran atau sebaliknya luas lingkaran merupakan integral dari keliling lingkaran.
Sekarang kita mulai ya, pahami baik-baik supaya nggak cepat lupa!

Luas = ∫ Keliling dr ( integral keliling lingkaran terhadap dr)
Luas = ∫ 2 π r dr ( keluarkan 2 π-nya)
Luas = 2 π ∫ r dr ( Integralkan jari-jarinya terhadap r)
Luas = 2 π { 1/2 r2 } ( kalikan 1/2 dengan 2)
Luas = π r2

Semoga bermanfaat! ^_^

Senin, 07 Maret 2011

MAKALAH
“MENUJU MASYARAKAT MADANI MELALUI
DEMOKRATISASI PENDIDIKAN”

Disusun oleh
Rohkani
KAMMI komisariat kanjuruhan

Malang 24 february 2o11


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Robb seluruh alam semesta. Sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabi junjungan Muhamad Shallallahu alaihi wassalam beserta keluarganya ,sahabat-sahabatnya, dan umatnya hingga akhir jaman.
Sungguh kebahagian tak terhingga ketika kami dapat menyusun makalah ini. Dalam makalah ini yang berjudul MENUJU MASYARAKAT MADANI MELALUI DEMOKRATISASI PENDIDIKAN kami jelaskan tentang kita-kiat menghadapi masa depan yang lebih baik (madani) melalui proses pendidikan.
Kami sadar makalah ini jauh dari kesempurnaan maka dari itu kami mohon sarannya dari berbagai pihak untuk perbaikan.









Malang, 24 February 2011

Rohkani



i

Daftar isi
Kata Pengantar…………………………………………………………………….i
Daftar Isi…………………………………………………………………………….ii
Ringkasan…………………………………………………………………………..iii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………1
1.2 Tujuan……………………………………………………………………………2
1.3 Mafaat…………………………………………………………………………...2
Bab II pembahasan
2.1 Pengertihan ………………………………………………………………………3
2.2 Manfaat Masyarakat Madani…………………………………………………….4
2.3 Upaya Menuju Masyarakat Madani.....…………………………………………5
2.4 Ciri-ciri Masyarakat madani………………………………………………………5
2.5 pemecahan Masalah ……………………………………………………………..6
Bab II Penutup…………………………………………………………………………10
Bab III Daftar Pustaka…………………………………………………………………11







ii
RINGKASAN
Dalam makalah ini mencoba menawarkan konsep-konsep baru tentang masyarakat madani ditinjau dari sudut: ontologi, aksiologi, dan epistemologi. Secara ontologis, masyarakat madani adalah masyarakat yang demokratis. Secara aksiologi, masyarakat madani bertujuan untuk meredam berbagai tuntutan reformasi baik dari dalam maupun luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan timbul inovasi-inovasi pendidikan. Secara epistemologis, masyarakat madani dicapai melalui tujuan jangka pendek dan jangka panjang melalui demokratisasi pendidikan. Dengan demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar mengajar. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik sehingga peserta didik tidak terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya.
















iii
Bab I. Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Namun, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.
Berbagai upaya perlu dilakukan dalam mewujudkan masyarakat madani, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Untuk yang berjangka pendek dilaksanakan dengan memilih dan menempatkan pemimpin-pemimpin yang dapat dipercaya (credible), dapat diterima (acceptable), dan dapat memimpin (capable). Untuk jangka panjang antara lain adalah dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui perspektif pendidikan. Perspektif pendidikan penting untuk dikaji mengingat konsep masyarakat madani sebenarnya merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional. Jadi, pendidikan menjadi soko guru dalam mewujudkan masyarakat madani. Makalah ini membatasi pembahasannya pada pencapaian tujuan jangka panjang masyarakat madani melalui demokratisasi pendidikan.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa, "pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan." Melihat kelengkapan tujuan pendidikan nasional tersebut seharusnya proses pendidikan dapat mencapai tujuan tersebut sepenuhnya. Namun, dalam praktiknya ternyata tujuan pendidikan nasional tersebut belum sepenuhnya tercapai. Hal itu mengakibatkan lulusan yang dihasilkan belum sepenuhnya mencerminkan perilaku-perilaku yang diharapkan oleh tujuan nasional tersebut sehingga timbullah gagasan untuk membentuk masyarakat madani termasuk di masyarakat kampus.
Sejak digulirkannya istilah masyarakat madani pada tahun 1995 oleh Datuk Anwar Ibrahim sejak itu pula upaya untuk mewujudkan masyarakat madani telah "menggoda" dan memotivasi para pakar pendidikan untuk menata dan mencari masukan guna mewujudkan masyarakat madani yang dimaksud. Namun, pihak-pihak yang skeptis meragukan keberhasilan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat madani. Dalam hal ini, Hefner (1998: 1) menyatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah impian (dream) suatu komunitas tertentu. Oleh karena itu, Hefner meragukan upaya bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani yang diharapkannya, karena formatnya pun belum jelas. Senada dengan pendapat Hefner tersebut, Mulder (1999) memberikan dugaan bahwa Indonesia masih akan jauh dari pembentukan masyarakat madani karena demokratisasi pendidikan belum berjalan lancar, sistem pendidikannya masih menerapkan faham kekuasaan, masih terlalu berbau feodal, dan belum memperhatikan aspirasi kemajemukan peserta didik secara memadai. Jika reformasi dan inovasi pendidikan memang mendesak untuk dilakukan dan agar kita memiliki andil dalam membentuk dan menghadapi masyarakat madani, maka permasalahannya antara lain adalah, "sampai sejauh mana pemahaman kita tentang makna masyarakat madani (ontologinya)?, nilai-nilai manfaat apa yang diperoleh dengan terbentuknya masyarakat madani (aksiologinya)?, dan bagaimana pemecahan masalahnya atau bagaimana cara melaksanakan demokratisasi pendidikan untuk mewujudkan masyarakat madani (epistemologinya)?, bagaimanakah arah reformasi dan inovasi pendidikan harus dilakukan?, bagaimanakah agar demokratisasi pendidikan itu berjalan mulus tanpa hambatan dan penyimpangan?, bagaimana kekuasaan dan kepentingan pribadi atau golongan tidak menggoda untuk menunda demokratisasi pendidikan?. Mengingat banyaknya masalah yang dihadapi dalam mewujudkan masyarakat madani, maka pada kesempatan ini pembahasan dibatasi pada apakah makna masyarakat madani itu, apakah manfaat mewujudkan masyarakat madani itu?, dan bagaimana cara mewujudkan masyarakat madani melalui pendidikan demokratisasi pendidikan?
Makalah ini mencoba mengungkapkan pemikiran yang menawarkan konsep-konsep baru masyarakat madani yang mungkin dapat dijadikan masukan dalam mewujudkan masyarakat madani melalui perspektif pendidikan. Tentu saja pemikiran konseptual ini akan dapat dioperasionalisasikan di lapangan secara kontekstual setelah melalui pengujian empiris yang profesional.
I.2 Tujuan
Dari penulisan makalah ini adapun tujuhanya adalah untuk mengetahui pengertihan dari masyarakat madani dan bagaimana idiealismenya proses pendidikan di Indonesia.
I.3 Manfaat
Makalah ini bermanfaat untuk meningkatkan wawasan bagi kita semua, terutama kalau di komisariat kanjuruhan adalah sebagai penambah referensi.





Bab II. Pembahasan
2.1 Pengertian
Masyarakat madani atau civil society adalah sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan antarindividu, masyarakat, dan negara. Atau dengan kata lain civil society ialah rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar tentang aturan-aturan main melalui dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan yang monolitik. Secara normatif-politis, inti strategi ini adalah usaha untuk memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat sebagai warga negara memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas segala yang mereka lakukan atas nama pemerintah.
Perjuangan masyarakat madani di Indonesia pada awal pergerakan kebangsaan dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan. Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan represif baik dari rezim Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno maupun rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, tuntutan perjuangan transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi dengan tokoh utamanya adalah Amien Rais dari Yogyakarta.
Masyarakat madani sebagai terjemahan bahasa Inggris, civil society. Kata civil society sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu civitas dei yang artinya kota Illahi dan society yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata civilization yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil society dapat diartikan sebagai komunitas masyarakat kota yakni masyarakat yang telah berperadaban maju berdasarkan norma-norma illahi. Konsepsi seperti ini pada awalnya lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab. Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, badawah, yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan yang sempit, masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, dan sifat-sifat negatif lainnya. Keadaan masyarakat nonmadani ini seperti yang ditunjukan oleh perilaku manusia Orde Baru yakni pada saat itu ada mitos bahwa hanya Soeharto saja yang mampu memimpin bangsa dengan menggunakan kekuatan ABRI untuk mempertahankan staus quo. Lebih lanjut bahwa ada satu hal yang perlu dipahami yaitu masyarakat madani bukanlah masyarakat yang bebas dari senjata atau ABRI (sekarang TNI); civil society tidak berkebalikan dengan masyarakat pimpinan TNI seperti yang banyak diasumsikan orang awam.
Istilah madani sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani kerapkali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur.
.
Masyarakat madani menurut ialah masyarakat yang beradab. Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society juga berdasarkan pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang berperadaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun dan konsep Al Madinah al fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al Farabi pada abad pertengahan.
Dalam memasuki milenium III, tuntutan masyarakat madani di dalam negeri oleh kaum reformis yang anti status quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar, jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia
Berdasarkan pengetihan diatass, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki makna ganda yaitu: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Perbedaan yang tampak jelas adalah civil society tidak mengaitkan prinsip tatanannya pada agama tertentu, sedangkan masyarakat madani (al-madaniy) jelas mengacu pada agama Islam. Konsep masyarakat madani menurut Islam adalah bangunan politik yang: demokratis, partisipatoris, menghormati dan menghargai publik seperti: kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui makna madani, maka istilah masyarakat madani secara mudah dapat difahami sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau berfaham masyarakat kota yang pluralistik.
2.2 Maanfat Masyarakat Madani
Manfaat yang diperoleh dengan terwujudnya masyarakat madani ialah terciptanya masyarakat Indonesia yang demokratis sebagai salah satu tuntutan reformasi di dalam negeri dan tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan mendorong munculnya inovasi-inovasi baru di bidang pendidikan. Selanjutnya dengan terwujudnya masyarakat madani, maka persoalan-persoalan besar bangsa Indonesia seperti: konflik-konflik suku, agama, ras, etnik, golongan, kesenjangan sosial, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan pembagian "kue bangsa" antara pusat dan daerah, saling curiga serta ketidakharmonisan pergaulan antarwarga dan lain-lain yang selama Orde Baru lebih banyak ditutup-tutupi, direkayasa dan dicarikan kambing hitamnya; diharapkan dapat diselesaikan secara arif, terbuka, tuntas, dan melegakan semua pihak, suatu prakondisi untuk dapat mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa dapat dicegah.
2.3 Upaya menuju masyarakat madani
Guna mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan motivasi yang tinggi dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Untuk mewujudkan masyarakat madani diperlukan proses dan waktu serta dituntut komitmen masing-masing warganya untuk mereformasi diri secara total dan selalu konsisten dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang tak terelakan. Tuntutan terhadap aspek ini sama pentingnya dengan kebutuhan akan toleransi sebagai instrumen dasar lahirnya sebuah konsensus atau kompromi.
2.4 Ciri-ciri Masyarakat Madani
Ciri utama masyarakat madani adalah demokrasi. Demokrasi memiliki konsekuensi luas di antaranya menuntut kemampuan partisipasi masyarakat dalam sistem politik dengan organisasi-organisasi politik yang independen sehingga memungkinkan kontrol aktif dan efektif dari masyarakat terhadap pemerintah dan pembangunan, dan sekaligus masyarakat sebagai pelaku ekonomi pasar. Bila masyarakat Indonesia tidak demokratis, maka Indonesia akan mendapat tekanan-tekanan politik dari kaum reformis di dalam negeri. Di lain pihak, dari luar negeri, Indonesia akan mendapat tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari PBB, Bank Dunia, IMF, dan negara-negara penganut faham demokratis. Sementara ini, ekonomi kita masih sangat bergantung pada pinjaman Bank Dunia dan IMF. Jika Bank Dunia dan IMF tidak memberikan bantuannya, maka ekonomi kita akan semakin terpuruk di mata internasional. Jika ekonomi kita semakin terpuruk, maka kerusuhan sosial akan semakin meningkat yang pada gilirannya membahayakan stabilitas nasional dan dikhawatirkan akan terjadi disintegrasi bangsa. Di samping itu, mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang khas sebagai unity dan diversity, maka karakteristik masyarakat madani cocok diterapkan di Indonesia sehingga persatuan dan kesatuan, toleransi umat beragama, persaudaraan, saling mengasihi sesama umat, dan persamaan hak akan menjadi lebih terjamin. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ciri utama masyarakat madani Indonesia adalah demokrasi yang menjunjung tingi nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat yang mempunyai faham keagamaan yang berbeda-beda, penuh toleransi, menegakkan hukum dan peraturan yang berlaku secara konsisten dan berbudaya .



2.5 Pemecahan Masalah
Salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah dengan melakukan demokratisasi pendidikan. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Jadi, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi bermakna semakin spesifik lagi yaitu fungsi-fungsi kekuasaan politik merupakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat. Konsep demokrasi memberi keyakinan bahwa unsur-unsur rakyat senantiasa menjadi faktor utama yang dilibatkan dalam pemerintahan. Oleh karena itu, demokrasi mendapat sambutan yang luar biasa di dalam hati sanubari rakyat karena demokrasi lebih berpihak kepada rakyat. Dengan demokrasi, rakyat boleh berharap bahwa masa depannya ditentukan oleh dan untuk rakyat, sedangkan demokratisasi ialah proses menuju demokrasi. Tujuan demokratisasi pendidikan ialah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik-praktik demokrasi
Generasi penerus sebagai anggota masyarakat harus benar-benar disiapkan untuk membangun masyarakat madani yang dicita-citakan. Masyarakat dan generasi muda yang mampu membangun masyarakat madani dapat dipersiapkan melalui pendidikan. Salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah melalui jalur pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Generasi penerus merupakan anggota masyarakat madani di masa mendatang. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali cara-cara berdemokrasi melalui demokratisasi pendidikan. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan berguna untuk menyiapkan peserta didik agar terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab, turut bertanggung jawab (melu angrungkebi), terbiasa mendengar dengan baik dan menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi, terbiasa bergaul dengan rakyat, ikut merasa memiliki (melu handarbeni), sama-sama merasakan suka dan duka dengan masyarakatnya (padhasarasa), dan mempelajari kehidupan masyarakat. Kelak jika generasi penerus ini menjadi pemimpin bangsa, maka demokratisasi pendidikan yang telah dialaminya akan mengajarkan kepadanya bahwa seseorang penguasa tidak boleh terserabut dari budaya dan rakyatnya, pemimpin harus senantiasa mengadakan kontak dengan rakyatnya, mengenal dan peka terhadap tuntutan hati nurani rakyatnya, suka dan duka bersama, menghilangkan kesedihan dan penderitaan-penderitaan atas kerugian-kerugian yang dialami rakyatnya. Sistem pendidikan yang selalu mengandalkan kekuasaan pendidik, tanpa memperhatikan pluralisme subjek didik, sudah saatnya harus diinovasi agar tercipta masyarakat madani. Upaya ke arah ini dapat ditempuh melalui demokratisasi pendidikan.
Demokratisasi pendidikan tidak harus dimulai dari sistem pendidikan berskala nasional. Bahkan akan lebih efektif kalau dimulai dari sistem pendidikan berskala lokal berupa pendidikan di dalam kelas. Dalam proses PBM di kelas, demokrasi pendidikan dapat diarahkan pada pembaharuan kultur dan norma keberadaban, sebab hal ini merupakan inti dari proses pendidikan.
Pelaksanaan demokratisasi pendidikan di kelas harus mampu membawa peserta didik untuk menghargai kemampuan teman dan guru, kemampuan sosial-ekonomi teman dan guru, kebudayaan teman dan guru, dan sejumlah kemajemukan lainnya. Di samping itu demokratisasi pendidikan dalam PBM juga dapat ditempuh dengan mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia sekarang yang sangat dibutuhkan oleh peserta didik dan masyarakatnya (pragmatisme), tanpa harus melupakan hari kemarin.
Sebagai contoh jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat petani, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat nelayan, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil perikanannya. Jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat bisnis, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas usaha bisnisnya, dan seterusnya.
Contoh-contoh tersebut di atas menggambarkan bahwa dalam melakukan inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu diperhatikan masalah-masalah pragmatik yakni mulai dari pemilihan materi ajar, penentuan tujuan, pemilihan metode, pemilihan evaluasi hasil belajar, output lulusan, sampai kebutuhan yang diharapkan dunia kerja. Hal ini cukup beralasan karena pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya. Pendidikan memang sebagai upaya mengembangkan kemanusiaan dan pengalihan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Itulah sebabnya pengajaran pragmatik yaitu pengajaran yang menekankan pada aspek fungsi akan menjadi salah satu alternatif pencapaian pengajaran yang berwawasan kemanusiaan dan peradaban. Oleh sebab itu, di dalam PBM yang pragmatik akan tercipta suasana kondusif bagi demokratisasi pendidikan.
Dalam proses pengajaran pragmatik, pendidik tidak monopoli dalam memberi dan mencari informasi. Intervensi pendidik adalah sebagai fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator. Sebagai fasilitator, pendidik harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba menemukan sendiri makna informasi yang diterimanya. Sebagai dinamisator, pendidik harus berusaha menciptakan iklim PMB yang dialogis dan berorientasi pada proses. Sebagai mediator, pendidik harus memberikan rambu-rambu atau arahan agar peserta didik bebas belajar. Sebagai motivator, pendidik harus selalu memberikan dorongan agar peserta didiknya bersemangat dalam menuntut ilmu.
Dalam pendidikan pragmatik yang bersifat profesional diakui bahwa kelemahan pendidikan semata-mata hanya untuk menyiapkan tenaga kerja yang sifatnya praktis. Kalau demikian halnya, pendidikan hanya akan menciptakan bangsa tukang dan bukan bangsa pemikir. Namun, pendidik tidak hanya menerapkan pendidikan pragmatik melainkan juga pendidikan yang bersifat akademik yang bertugas menciptakan pemikir-pemikir bangsa yang sifatnya teoritis. Di samping tidak hanya teoritis, melainkan harus ada tindakan nyata dari hasil pemikirannya. Oleh sebab itu, perlu ada keseimbangan antara keterampilan operasional dengan kemampuan konseptual sehingga tercipta sumber daya manusia Indonesia yang berwawasan global dan sekaligus bertindak lokal.
Komunikasi dalam demokratisasi pendidikan harus terjadi ke segala arah dan bukan hanya bersifat satu arah yaitu dari pendidik ke peserta (top down) melainkan juga ada keseimbangannya yaitu dari peserta didik dengan pendidik dan antarpeserta didik sendiri (network). Dengan model komunikasi top down timbul kecenderungan pendidik akan merasa capek sementara peserta didik tidak mengerti, pasif, bosan, mengantuk, dan lebih parah lagi peserta didik tidak mendapatkan informasi baru. Pendidik merupakan satu-satunya sumber belajar dengan otoritas yang sangat tinggi dan menganggap otak peserta didik bagaikan tong kosong yang siap diisi penuh dengan berbagai informasi darinya. Sebaliknya, dengan model komunikasi network, sumber belajar bukan hanya terletak pada pendidik melainkan juga pada peserta didik. Guru cenderung tidak merasa capek, peserta didik mengerti dengan belajar dari pengalamannya sendiri, aktif, senang, dan kaya dengan informasi baru.
Namun, selama ini terkesan bahwa pendidikan menganut asas subject matter oriented yang membebani peserta didik dengan informasi-informasi kognitif dan motorik yang kadang-kadang kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan psikologis mereka. Pendidikan yang menyangkut ranah kognitif sudah dijalankan dengan perhatian yang besar. Pengelolaan pengajaran yang ada memberi kesan terlalu berorientasi pada ipteks termasuk juga keterampilan motorik terlalu berorientasi pada teknis . Dengan asas ini dapat dihasilkan lulusan yang pandai, cerdas, dan terampil; tetapi kepandaian dan kecerdasan intelektual tersebut kurang diimbangi dengan kecerdasan emosional. Keadaan demikian terjadi karena kurangnya perhatian terhadap ranah afektif. Padahal ranah afektif sama penting peranannya dalam membentuk perilaku peserta didik. Sekarang, dalam mendukung pelaksanaan demokratisasi pendidikan, tibalah saatnya mengubah asas subject matter oriented ke student oriented. Orientasi pendidikan yang bersifat student oriented lebih menekankan pada pertumbuhan, perkembangan, dan kebutuhan peserta didik secara utuh baik lahir maupun batin. Dalam hal ini kecerdasan otak memang penting, tetapi kecerdasan emosional juga tidak kalah pentingnya.
Dalam suasana PBM yang demokratis terjadi egalitarian (kesetaraan atau sederajat dalam kebersamaan) antara pendidik dengan peserta didik. Pengajaran tidak harus top down namun diimbangi dengan bottom up sehingga tidak ada lagi pemaksaan kehendak pendidik tetapi akan terjadi tawar-menawar kedua belah pihak dalam menentukan tujuan, materi, media, PBM, dan evaluasi hasil belajarnya.
Demokratisasi pendidikan merupakan pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Dengan komunikasi struktural dan kultural antara pendidik dan peserta didik, maka akan terjadi interaksi yang sehat, wajar, dan bertanggung jawab. Peserta didik boleh saja berpendapat, berperasaan, dan bertindak sesuai dengan langkahnya sendiri dan mungkin saja berbeda dengan pendidiknya asalkan ada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Peserta didik bukan saja memahami demokrasi tetapi juga menjalani latihan seperti berdebat, menghargai pandangan dan harga diri orang lain, serta mematuhi aturan hukum yang diaplikasikan dalam setting diskusi. Peserta didik ditantang menguji validitas pikirannya dengan argumentasi-argumentasi yang rasional dan jika mungkin berdasarkan hasil penelitian yang seksama. Dalam iklim PBM yang demokratis, pendidik tidak harus merasa paling pandai di dalam kelasnya, tidak merasa paling benar di kelasnya, merasa telah menang belajar satu malam dibandingkan dengan peserta didiknya; tetapi akan terjadi saling tukar informasi dan pengalaman dengan peserta didiknya. Kondisi ini dimungkinkan akan terjadi dalam demokratisasi pendidikan.
















Bab III
Penutup
Secara ontologis, masyarakat madani bermakna ganda yaitu suatu tatanan masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi. Namun, yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Secara aksiologis, masyarakat madani perlu segera diwujudkan karena bermanfaat untuk meredam berbagai tuntutan reformasi dari dalam negeri maupun tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan muncul inovasi-inovasi pendidikan dan menghindari terjadinya disintegrasi bangsa. Secara epistemologis, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam jangka panjang adalah dengan cara melakukan demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan ialah pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Melalui demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar mengajarnya. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik. Pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya.












Daftar Pustaka
Al-Abrasyi, M.A. 1987. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Terjemahan Gani, B.A. dan Bahry, D.) Jakarta: Bulan Bintang.
Daliman, A. 1999. Reorientasi Pendidikan Sejarah melalui Pendekatan Budaya Menuju Transformasi Masyarakat Madani dan Integrasi Bangsa, Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2.
Farkan, H. 1999. Piagam Medinah dan Idealisme Masyarakat Madani. Bernas, 29 Maret.
Mun’im, A.D.Z. 1994. Masyarakat Sipil sebagai Masyarakat Beradab, Republika 20 September.

Rabu, 05 Januari 2011

SPAM dan VIRUS


Malang, 6 Desember 2011]
Ini semacam curhat digital. Penyakit2 yang muncul di dunia komputer dan dunia internet, dan tidak bisa kita hindari. Ini semacam batuk dan pilek dalam kehidupan manusia sehari-hari.

Mana ada manusia yang tidak pernah batuk dan pilek??

2 hari ini dipusingkan dengan SPAM dan VIRUS.

Mulanya tidak pusing karena menganggap hal biasa, bahkan menyepelekan karena merasa ‘sudah biasa’ tadi.

Pertama SPAM di blog. Blog yang sedang anda lihat ini sudah hampir satu bulan, bahkan lebih. Didatangi SPAM komentar secara rutin. Mulanya hanya satu, besoknya dua, besoknya lagi tiga.

Awalnya saya selalu ijinkan spam nongkrong di komentar blog. Karena saya berpikir, semakin banyak SPAM semakin terkenal blog/website. Karena SPAM sebagiannya adalah iklan yg dibuat dan dipajang di blog2 yang sudah cukup layak (menurut mereka). Jarang2 ada blog baru kebanjiran SPAM.

Entahlah pikiran saya ini benar apa ndak.

Jadi kalau ada komentar SPAM masuk, dan itu masih dalam kategori wajar (tidak menjelek2an SARA / atau kategori adult) maka komentar tersebut akan saya approve, dan tidak saya delete permanently.

Anda sudah tahu akibatnya. Lokasi dimana SPAM bisa masuk dan nongkrong dengan gagahnya. Disitulah SPAM2 selanjutnya akan datang dan yang menjadi masalah adalah : semakin lama semakin banyak saja jumlahnya.

Teman2 bisa lihat di halaman guest. Disitulah salah satu SPAM itu berhasil masuk dengan izin saya sendiri. Dan, akhir2 ini saya baru merasa efeknya, lama2 banyak juga SPAM masuk.

Akhirnya saya memutuskan, oke STOP dulu SPAMnya. Terpaksa saya delete permanently semua SPAM yang masuk ke halaman guest. Karena jumlahnya yang lama2 makin ngga wajar.

Kedua, saya kedapatan virus shortcut di flashdisk. Dihapus mbalik lagi. Di antivirus mbalik lagi. Semua terapi yang disarankan teman2 sudah dijalankan.

Dan kondisi menjadi semakin parah ketika flashdisk dari adik saya masuk ke cpu saat saya mau ngopi GAME.

Deng deng!!

Komputer saya jadi banyak yg corrupt. Semua file yang berjudul .exe dihapus semua.

Ya Allah tolong Baim ya Allah…

Sudahlah, mungkin waktunya instal ulang ini.

*ngemut-mouse*

Tapi sebelum instal ulang, mending posting dulu. Mumpung paket internet fleksinya masih baru.

He he he…

Bagaimana pengalaman teman2 tentang SPAM dan VIRUS?

Ciao.

***

Rabu, 29 Desember 2010

Selasa, 28 Desember 2010

hidup semakin indah dengan kesederhannaan dan kesahajaan

Teman-teman q sekalian yanf di rahmati oleh Alloh SWT
pagda pgi yg cerah ini kita masih bisa menghirup udara yang segar ini
mungkin saudara2 saudara kkita yang ada d luar sana tidak bisa merasakan seperti apa yg kita rasakan saat ini
Kesederhaanan dan kesahajan sangat penting untuk jaman sekarang ini
karena apa dengan kesahajan dan kesederhannaan kiti bisa merassakan sesungguhx hakikatnya hidup ini untuk apa?
berfofa-fosakah, berenang senagkah; atau untuk bersukur kepada Allah SWT dengan segala kemampuan yg kita miliki.
mungkin tuk hari ni tu saja
mungkin kan q sambung entar sore
afwan ea semuanya

Minggu, 26 Desember 2010

Aku Ingin Masuk ke Surga-Mu

Tiba-tiba aku terbangun oleh suara yang melengking tinggi. Suara itu menggema dan sangat panjang, seperti tiupan terompet super jumbo. Saking kerasnya, suara itu seperti mengoyak lubang telingaku dengan kasar dan membuat kulit muka dan dadaku bergetar serta mati rasa. Meski kututup telingaku serapat mungkin, suara itu tetap menembus dan memasuki relung-relung jiwaku yang paling dalam. Seolah semua anggota badanku menjadi telinga. Merasa kaki dan tanganku mendengar langsung.

Dan jantungku serasa hampir lepas ketika suara itu berhenti. Semuanya menjadi sangat sunyi dan sesuatu seperti berdengung di telingaku. Jika saja suara itu berbunyi agak lama lagi, aku berani bertaruh aku pasti sudah kehilangan indera pendengaran. Sungguh suara yang dahsyat.

Serta merta aku bangkit dan menyaksikan hamparan padang putih yang sangat luas dan bahkan tak berujung. Padang itu dipenuhi banyak manusia dari semua ras. Mereka tak berbusana begitu juga aku. Dan tiba-tiba hawa udara yang sangat panas menyergap dan aku melihat matahari begitu dekat dengan kepalaku. Tengkukku hampir meleleh. Lalu kulihat segerombolan manusia yang melayang-layang oleh kepakan sayap mereka. Malaikatkah itu? Aku menatap sekelilingku dengan takjub, seperti seorang anak kecil yang melihat seperangkat mainan yang mahal.

Tempat apa ini?

Di mana?

Semua orang di situ juga sama bingung seperti aku. Tetapi seorang laki-laki yang berdiri di sampingku berkata,

“Inilah padang Mahsyar pada hari penantian sebagaimana yang dijanjikan Tuhan,” katanya.

Padang Mahsyar? Mengapa cepat sekali? Aku masih belum percaya. Rasanya aku belum mati. Aku belum pernah sakit keras atau sekarat. Aku merasa belum dishalati dan ditimbun dengan tanah. Aku belum meninggalkan dunia fana. Aku belum menyaksikan kedahsyatan kiamat.

Aku belum mati.

Tanpa dikomando, semua orang—termasuk aku—digiring menuju ke arah yang aku tak tahu apakah itu barat, timur, selatan, atau utara. Kami berjalan perlahan menuju tempat yang lebih terang dan lebih panas. Terdengar suara menggema yang bersahut-sahutan. Rupanya itu panggilan satu-persatu nama-nama manusia. Aku menunggu dengan tak sabar dan menatap ke ujung sana, di suatu tempat seperti jurang. Tempat itu lebih bercahaya karena ada kobaran api yang ganas di balik jurang itu.

“Itulah neraka yang panas, di bawah sana,” kata lelaki tadi.

Neraka? Tiba-tiba keringatku bercucuran, membentuk bulir-bulir air di seluruh wajahku. Jika benar ini hari di mana perbuatan manusia dipertanggungjawabkan, berarti kiamat memang sudah lewat. Aku jadi takut. Aku tak tahu apakah aku akan masuk surga atau neraka. Pikiranku kembali ke dunia fana. Susah mengingat-ingat kala dalam keadaan tegang seperti ini. Oh ya, aku ingat. Aku adalah seorang aktivis dakwah. Setiap hari sibuk dengan urusan agama. Ceramah di sana-sini. Berinfaq sekian banyak. Aku tidak pernah meninggalkan shalat dan puasa wajib. Yang sunnah pun aku tekuni. Aku sering jadi imam di masjid-masjid besar. Aku dihormati umat. Tentu saja aku termasuk golongan orang-orang yang beriman. Ya, aku yakin aku akan masuk surga.

‘Ya Allah Yang Maha Pemurah, masukkanlah aku ke dalam surga-Mu bersama hamba-hambamu yang beriman,’ batinku penuh harap.

Aku semakin yakin bahwa aku akan masuk surga ketika kulihat gerombolan manusia yang kepalanya menyerupai hewan. Mereka yang berkepala hewan pastinya akan dijilati api neraka jahanam, sedangkan wajahku masih mulus berbentuk wajah manusia. Kukira aku akan masuk surga. Surga. Surga, di manakah dia? Kulihat sebuah pintu yang sangat besar dan bercahaya. Pintu itu terletak di seberang jurang dan dijaga banyak malaikat bersayap.

Kukira itulah pintu surga.

“Lihat, itulah Surga yang dijanjikan Allah untuk hamba-hamba-Nya yang saleh. Harumnya bisa kucium, samar-samar. Bisakah kau?” ujar si lelaki seolah mengiyakan isi pikiranku.

Aku mengangguk antusias.

Ya, itulah pintu surga. Harumnya surga bisa kucium di tengah busuknya neraka yang menghalangi. Aku akan menuju ke sana. Tapi ternyata tak ada jembatan di atas jurang yang panas itu dan aku dilarang lewat oleh seorang malaikat bersayap banyak. Yang menyatukan kedua sisi jurang itu hanyalah untaian sesuatu yang lebih tipis dari pada sehelai rambut, hampir luput dari mataku. Ya, Shiratal Mustaqim. Tetapi bagaimana mungkin aku akan berjalan di atasnya? Tiba-tiba kulihat seorang pria berjubah berjalan dengan tenang dan anggun. Para malaikat melayang di kedua sisinya. Mungkinkah itu Rasulullah?

“Ya, Rasulullah yang mulia, shalawat dan salam atasnya. Beliaulah yang pertama memasuki surga,” jelas lelaki tadi.

Aku terkesiap. Seumur hidup aku mengimpikan untuk bisa bertemu dengan Rasulullah.

‘Ya Rasul Allah, menolehlah,’ batinku.

Ingin sekali aku melihat wajah Rasulullah meski hanya sebentar. Namun Beliau tak menoleh barang sedikitpun, terus berjalan dan memasuki pintu surga yang tinggi. Disusul oleh orang-orang mulia yang telah diceritakan dalam buku-buku sejarah yang membosankan—para nabi, sahabat Rasul, dan para mujahidin. Mereka melewati jembatan rambut—begitu aku menyebut Shiratal Mustaqim—dengan mudahnya. Ada yang berlari bahkan ada yang secepat kilat, seolah-olah jembatan rambut itu adalah sebuah jembatan beraspal yang lebar bagi mereka. Kulihat wajah para syahidin pada perang-perang Badar, Uhud, dan lainnya, memasuki pintu surga sambil tersenyum.

Antrian melewati jembatan rambut itu seperti tidak ada habisnya. Kini keadaannya sudah agak berbeda. Ada yang merangkak, ada yang sepelan kura-kura, bahkan ada yang bergelantungan di untaian yang sehelai itu. Agak menyakitkan ketika melihat orang-orang yang tidak berhasil melewati jembatan itu. Mereka terjatuh ke dalam neraka dan teriakan penyesalan mereka menggema berkali-kali. Membuat bulu kudukku berdiri tegak-tegak.

Lalu kulihat orang-orang yang hidup semasa denganku. Ya, itu si Badrun. Dia jatuh dengan menggenaskan. Ah, memang pantas neraka menjadi tempat untuknya karena sehari-hari hanya berjudi yang dilakoni. Lalu kulihat gerombolan pengamen yang dulu sering menggangguku di perempatan lampu merah. Tetapi anak-anak itu berlari-lari di atas Siratul Muttaqin dan sambil tertawa memasuki surga.

Darahku serasa menguap. Bukankah aku lebih mulia dari pada anak-anak gembel itu? Bukankah aku tak pernah mengeluh selama berdakwah di dunia? Bukankah aku orang yang ’saleh’? Mengapa anak-anak itu lebih dulu masuk surga dari pada aku yang seorang pendakwah dan dihormati umat?

Ada yang salah kukira. Tapi sejurus kemudian kulihat tukang sapu yang selalu membersihkan trotoar di depan rumahku. Juga pengemis yang saban hari menyambangi rumahku. Pembantu rumah tanggaku yang bebal. Anak-anak pengajian yang kuajari cara mengeja Al Qur’an. Segelintir jamaah masjid yang selalu menjadi makmum di belakangku di masjid kecil dekat rumahku. Ada juga kedua orang tuaku dan adik kandungku. Mereka memasuki surga dengan senang hati.

Aku menjadi lemas seketika. Pastilah banyak dosaku. Betapa sombongnya aku menyangka akan masuk surga. Bagaimana mungkin aku akan masuk surga sementara dengan mata kepalaku sendiri aku melihat orang-orang yang kuanggap hina memasuki surga tanpa halangan?

Karena sangat lama aku jadi kesal menunggu. Tiba-tiba namaku dipanggil tanpa embel-embel gelar yang susah payah kuraih selama hidup di dunia.

“Haekal Jayadi.”

Dan aku disodorkan sebuah buku yang besar. Mungkin inilah yang berisi amalku selama hidup di dunia yang fana dan sementara. Yang membuatku berbesar hati adalah aku menerima buku itu dengan tangan kananku. Kukira ini berarti amalan baikku lebih banyak daripada amal buruk. Amal buruk? Oh, bukankah aku hampir tidak pernah berbuat kesalahan? Tentu saja surga akan kumasuki.

Tetapi ketika membuka buku itu, wajahku pias seketika. Ternyata pahalaku hanya lebih sedikit dengan dosaku. Bagaimana mungkin? Atau ada salah perhitungan? Aku ingin melihat apa saja dosaku hingga sebanyak itu. Kubuka buku itu dengan tergesa.

Yang kudapat hanyalah tulisan riya, riya, riya, dan riya. Apakah aku selalu riya ketika hidup di dunia? Apakah demikian?

Aku malu mengakui. Ya, aku memang riya dalam beribadah.

Aku shalat di masjid hanya untuk mendapat rasa hormat para tetanggaku. Aku berjalan di subuh yang dingin dengan setengah berharap ada tetangga yang menyibakkan gorden jendela mereka dan melihat betapa rajinnya aku ke masjid. Aku bersujud lama-lama, namun yang kupikirkan hanyalah orang-orang yang sedang menatapku dengan kagum. Aku membaca ayat-ayat Al-Quran ketika menjadi imam dengan sangat indah dan panjang-panjang, bukanlah untuk ibadahku kepada Allah, tetapi untuk mengambil hati para makmum bahwa aku memang pantas menjadi imam mereka. Aku bersedekah banyak untuk yatim piatu di panti asuhan di hadapan tamu-tamu terhormat agar aku dikenal dermawan. Namun ketika aku dipinta recehan oleh pengamen di kaca mobilku, aku jadi orang yang pelit sekali, berpaling mengabaikan. Aku bertahan membiasakan diri puasa sunnah sebanyak mungkin. Tidak ada yang kudapatkan selain rasa lapar, dahaga, dan image bahwa aku manusia yang saleh dari orang-orang disekelilingku. Aku berkotbah dengan berapi-api di depan kaca di kamarku, melatih diri agar aku tampil tidak mengecewakan di depan jamaah yang mendengarku nantinya. Aku hanya mencari perhatian bukan mengharap ridha Allah.

Aku jatuh terduduk lemas menyadari bahwa aku manusia yang sangat riya. Kubuka lembaran selanjutnya dan seterusnya, hanya tulisan riya yang tergores. Namun tiba-tiba kata takabur muncul. Kemudian munafik dan kikir.

Apakah aku takabur? Aku tidak akan menyangkal karena semua yang tertulis dalam buku ini adalah benar.

Akulah orang yang sangat sombong dengan kebesaranku sebagai orang saleh. Aku adalah orang saleh di mata tetanggaku tetapi tak ubahnya mahluk yang hina di hadapan Allah yang menguasai segalanya. Aku sangat munafik. Aku berbohong, ingkar, dan berkhianat. Kuceramahi jamaah di masjid sementara apa yang kusampaikan tak pernah kulakukan sendiri. Aku adalah orang yang sok tahu. Kukobarkan permusuhan dengan pemimpin Islam lain. Kulemparkan kata-kata bid’ah padahal aku sendiri tidak tahu apakah sesungguhnya yang dianggap bid’ah itu.

Aku juga orang yang sangat kikir. Aku sudah terlalu bosan dengan pengemis kecuali ada kenalan yang kebetulan sedang melihatku, kalau sudah begitu mau tak mau aku harus memberi agar dicap pemurah.

Ternyata jiwaku kotor, berlumuran dosa. Hatiku hitam dan keras bagai batu-batu gunung. Ketaqwaanku rendah, dan aku tak lebih baik dari seorang pengamen gembel. Kupanjatkan doa pengampunan meski aku tahu itu sudah terlambat. Allah takkan mendengarku lagi.

Tiba-tiba namaku sekali lagi disebut dan aku harus melewati jembatan rambut itu. Jembatan itu terbentang sangat panjang. Ketika aku bersiap melangkah, jembatan rambut itu serasa selebar satu meter padahal mataku melaporkan bahwa jembatan itu hampir tak terlihat karena tipisnya. Aku lega, pastinya tak akan sulit bila lebarnya satu meter. Aku melangkah dengan yakin dan setengah malu atas dosa-dosaku. Angin neraka yang panas dan menyesakkan dada menghembus angkuh, membuatku bergoyang-goyang. Makin lama aku berjalan jembatan itu semakin menyempit dan akhirnya hanya selebar satu jengkal. Aku jadi takut dan tegang. Aku harus berusaha menjaga keseimbangan untuk setiap langkah sementara neraka bergejolak di bawahku. Tiba-tiba aku terpeleset dan terjatuh. Tetapi tanganku berhasil menggenggam jembatan yang semakin tipis itu. Jadilah aku bergelantungan menyedihkan.

Semakin tipis jembatan itu semakin mengiris tanganku. Aku kesakitan dan berteriak-teriak minta tolong kendati pun aku sadar tidak ada yang bisa menolongku sekarang. Ujung-ujung kakiku sudah hampir melepuh oleh api neraka. Akhirnya aku melepas peganganku dan aku terjatuh, merasakan betapa panasnya api neraka menjilati tubuhku.

Tiba-tiba aku terbangun dan merasakan wajahku basah dan dingin. Sepasang tangan menjawil hidungku serta menepuk-nepuk pipiku. Ketika aku memicingkan mata, seseorang sedang bersiap-siap mengoleskan balsem di hidungku.

“Istigfar, Jay, istigfar…” katanya.

Ternyata banyak pula yang mengerumuniku. Mereka berbisik-bisik ribut sekali. Aku baru ingat kalau aku sedang diundang ikut pesantren kilat di sebuah sekolah sebagai pemberi materi untuk peserta.

Aku mimpi buruk.

“Mimpi apa kok pake teriak segala? ” tanya Reza, sahabat yang menemani undanganku.

“Habis tidurnya nggak baca doa sih…” yang lain menyahut setengah berbisik.

Mimpi apa? Ya Allah, betapa menyakitkan cara-Mu mengingatkanku akan dosa-dosaku. Dosa-dosaku, ya Allah, dosa-dosa yang sungguh sangat kotor dan mengotori. Ampunilah hamba-Mu ini, yang jiwanya berlumuran dosa-dosa hina yang selama ini terselubung. Aku mengharap ridha-Mu Aku mendambakan surga-Mu, ya Allah.

Aku benar-benar menyesalkan, betapa aku manusia yang hina dibandingkan teman-temanku di sekelilingku ini. Aku tak pantas berada di dekat mereka bahkan memanggil nama mereka pun aku tak pantas. Bisa kurasakan tubuhku gemetar seolah jasadku menolak untuk membungkus jiwaku yang busuk. Air mata mulai meleleh di ujung mataku dan aku menangis sesunggukan menyesali semuanya.

“Kok nangis? Kak Jay… ”

Selasa, 21 Desember 2010

ALLOH SWT TAHU KALAU KITA SIBUK

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan kan meneguhkan kedudukanmu”
(QS Muhammad : 7)

Ikhwah fillah rahimakumullah….,
Sebagai seorang kader dakwah atau aktivis mahasiswa yang berjuang membawa panji Islam, sudah seharusnyalah kita mempunyai hubungan yang kokoh dan kuat dengan Allah SWT (Quwwatush-shilah billah). Dan sesungguhnya, kalau kita sadari ada banyak sarana yang bisa kita jadikan sebagai opsi atau pilihan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hubungan tersebut.
Di dalam buku Al Mustakhlash Fii Tazkiyatil Anfus, Al Ustadz Said Hawwa menuliskan paling tidak ada 13 sarana yang bisa kita jadikan sebagi wasilah untuk mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. Mulai dari shalat, zakat-infak-shodaqoh, shaum, haji, tilawah Qur’an, dzikrullah, tafakkur alam dan seterusnya.
Meskipun demikian, kita masih sering merasakan adanya kekeringan ruhani, apalagi ditengah kesibukan dan padatnya aktivitas kita di kampus disaat-saat kegiatan Penerimaan Mahasiswa Baru seperti sekarang(OSPEK, MENTORING, etc). Hal tersebut wajar, karena kita memang sangat jarang mengaliri qalbu kita dengan siraman-siraman ruhani berupa sarana-sarana yang telah disediakan oleh Allah SWT tersebut. Atau istilah HP-nya, kita jarang mengeces baterai-baterai ruhani kita dengan amaliyah tersebut.
Alasan yang sering kita kemukakan selalu sama dan klasik : sibuk-lah, repot-lah, banyak rapat dan agenda kegiatan lain (yang insya Allah juga untuk kepentingan dakwah Illalah-red), alias susah mendapatkan waktu senggang untuk menyiram tanaman ruhiyah kita.

Ikhwah fillah rahimakumullah….,
Kadangkala kalau kita berkumpul dengan sesama ikhwah, sesama kader dakwah, aktivis mahasiswa yang komitmen dengan nilai-nilai Islam--entah dalam majelis ilmu, halaqoh pekanan, syuro’ atau majelis-majelis zikir yang lain-- kita merasa mendapatkan setetes embun kesejukan di tengah gersangnya hati kita dan seolah kita mendapatkan siraman air hujan di tengah teriknya padang pasir, dan ketika itu kita ingat bahwa ruhiyah kita sedang sangat kekeringan dan dalam hati kita bertekad untuk mencoba melakukan amal-amal kebaikan yang dapat mengantarkan kita untuk terus mendapatkan nuansa kesejukan itu.

Namun, Ikhwah fillah rahimakumullah….,
Apa yang terjadi begitu kita keluar dari majelis-majelis tersebut ..?, ketika kita kembali bertemu dengan aktivitas yang menumpuk…?, ketika kita kembali di tengah-tengah kondisi yang ternyata tidak mendukung kita untuk tetap istiqomah…?. Ternyata, kita kembali menjadi manusia-manusia yang sibuk, bahkan manusia super sibuk (mudah-mudahan tidak menjadi manusia yang sok sibuk) dan kita lupakan sebuah niatan kita untuk melakukan siraman-siraman yang bisa menyuburkan iman kita.
Namun, kita perlu mengingat bahwa kesibukan kita tidak berarti meninggalkan langkah-langkah kita untuk melakukan siraman-siraman dan pengecesan baterai ruhiyah kita. Dan yang perlu kita sadari bahwa kesibukan kita tidaklah akan pernah selesai, karena sebagai seorang muslim kita harus berprinsip, bahwa istirahat kita adalah perpindahan dari satu aktivitas ke aktivias yang lain, dan istirahat yang sejati kita adalah ketika kita bertemu dengan maut dalam keadaan siap untuk mempersembahkan amal-amal yang terbaik untuk kita pertanggungjawabkan di hadapan Rabb kita. Insya Allah.. . Dan ingatlah sebuah pesan dari Al Imam Hassan Al Banna, bahwa “Kewajiban dakwah kita lebih banyak dari waktu yang tersedia”.

Ikhwah fillah rahimakumullah….,
Mari kita renungkan bersama satu firman Allah SWT berikut ini :
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang ynag bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi keringnan kepada kamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada diantara kamu orang-orang yang sakit dan ornaa-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian nikmat Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang dijalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an itu dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah dengn pinjaman ynag baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Al Muzzamil :20).

Ikhwah fillah rahimakumullah….,
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa :
- Allah SWTmnegetahui bahwa kemampuan kita dalam berqiyyamulllail berbeda–beda, ada yang hampir mampu mencapai 2/3 malam, ada yang mampu setengah malam, dan ada pula yang speretiga malam.
- Allah SWT-lah yang menentukan ukuran-ukuran siang dan malam.
- Allah SWT menegtahui bahwa kita ini lemah dan tidak akan mampu melakukan kewajiban (ya……KEWAJIBAN, karena waktu itu qiyyamullail setengah malam adalah kewajiban kaum muslimin).
- Allah SWT mengetahui bahwa diantara kita ada yang sakit, ada yang sibuk mencari ma’isyah, ada pula yang sibuk berperang fii sabilillah..
Meskipun Allah SWT mengetahui kesibukan kita, namun Dia tetap memerintahkan kepada kita untuk :
 membaca Al qur’an (bahkan diulang sampai 2 kali) sesuai dengan kemudahan kita.
 Menegakkan shalat
 Membayar zakat
 Memberikan pinjaman yang baik kepada Allah SWT (sedekah dan semacamnya)
 Banyak-banyak beristighfar
Artinya, kalau kita kita sesuaikan dengan kondisi kita saat ini, betapapun kesibukan yang melanda kita, padatnya agenda aktivitas kita dan banyaknya jadwal rapat ini dan koordinasi itu, kita tidak boleh melupakan tugas menyirami ruhiyah kita dan mengecesnya dengan berbagai sarana yang ada.
Ada banyak cara yang ditawarkan Islam agar kita tetap bisa mendapatkan kesempatan melakukan siraman dan penyegaran ruhiyah kita. Diantaranya adalah :
Kita harus men-split waktu-waktu yang kita miliki agar muncul menjadi beberapa saat, sehingga dihadapan kita akan muncul sederet waktu yang bisa kita daya gunakan.
Ada sebuah kisah di zaman Rasulullah SAW. Waktu itu ada seorang sahabat bernama Hanzhalah yang bertemu sahabat Abu Bakar Ash-shidiq radhiyallahu ‘anhu. Begitu bertemu, Hanzhalah berkata kepada Abu Bakar, ”Nafaqa Hanzhalah” (Hanzhalah menjadi munafiq). Mendengar pernyataan seperti itu Abu Bakar kaget, lalu bertanya, ”Kenapa ?”. Hanzhalah menjawab “Kalau saya berada di majelis Rasulullah SAW, seakan saya melihat dengan mata kepala sendiri suasana surga dan neraka, akan tetapi ketika saya bertemu dengan anak-anak dan istri saya, saya semua lupa apa yang saya rasakan tadi”. Mendengar penjelasan seperti itu, Abu Bakar berkata, “Kalau begitu, sama seperti saya.”. Singkat cerita mereka menghadap Rasulullah saw dan menceritakan perasaan dan problem mereka, nabi saw menjawab :”………, akan tetapi sa-’ah wa sa’-ah”. Maksudnya bagilah (split-lah) waktumu agar ada saat untuk ini dan ada saat untuk itu. (HR. Bukhari).
Kita harus pandai memanfaatkan “serpihan-serpihan” waktu kita dan mendayagunakannya untuk melakukan siraman ruhiyah kita dan pengecesan baterai qalbu kita. Daripada sibuk mencari obyek untuk “cuci mata”, lebih baik kita menyibukkan diri kita dengan berdzikir sambil berjalan ke kampus. Daripada melamun hal-hal jorok, mungkin kita bisa tilawah qur’an atau membaca buku sambil menunggu teman lain yang belum datang untuk rapat, dan banyak peluang kebaikan yang lain yang sesungguhnya bisa kita siasati, jika kita bersungguh-sungguh.
Pada suatu ketika Rasulullah saw memperingatkan kita dengan sabdanya : “Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak ada yang memberat-beratkan diri sendiri kecuali agama itu akan mengalahkannya, karenanya luruskan langkah dan kokohkan, berusahalah untuk selalu mendekati (target ideal), bergembiralah (jangan pesimis) dan meminta tolonglah dengan waktu pagi, waktu sore dan sedikit malam”. (HR Bukhari).

Ikhwah fillah rahimakumullah….,
Terakhir sekali, kita harus pandai mendiversivikasi kegiatan/aktivitas kita dengan berbagai ragam kegiatan agar tidak cepat bosan, ingatlah bahwa, “Sesungguhnya Allah SWT tidak akan bosan sehingga kita bosan, dan bebanilah jiwa ini sesuai dengan kadar kemampuannya dan bahwasanya amal yang paling dicintai Allah SWT adalah yang kontinu” (HR Ahmad, Abu Daud, dan An Nasa’i).
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan taufiq, bimbingan dan kekuatan kepada kita untuk istiqomah diatas jalan-Nya dan memberikan kemudahan kepada kita mencapai jannah-Nya. Amiin.

(Dikutip dari tulisan Ustadz Musyaffa Ahmad Rahim dalam buku Rambu-rambu Amal)


“Dan katakanlah, ”Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS At Taubah :105)